Menerima atau apatis?
Satu bulan terakhir ini banyak yang sudah terjadi dalam hidupku. Kehilangan orang yang dicintai pada saat aku tidak ada di tempat. Kejadian yang menghebohkan semua orang karena aku tidak dapat dihubungi. Kejadian yang meninggalkan kesan buruk mengenai diriku pada orang-orang yang tidak memahami situasi saat itu. Jika itu yang ingin mereka pikirkan mengenai aku, maka aku tidak bisa berbuat apa-apa. Yang bisa aku lakukan hanyalah menerima apa-apa yang tidak bisa aku ubah lagi.
Tidak berapa lama setelah itu, aku memasuki lingkungan yang sama sekali baru. Dalam lingkungan inilah aku bisa melupakan segala rasa sedih dan duka ku. Aku bisa benar-benar tertawa, bukan tertawa sinis ataupun tertawa pura-pura (atau plastic kalau mengikuti istilah ibu kost ku yang sudah lama tidak kusapa). Aku bersyukur masuk ke dalam lingkungan itu karena pengalaman itu memberiku kesempatan untuk menerima semua yang sudah terjadi. Untuk tidak berlarut-larut dalam duka. Untuk mensyukuri apa yang sudah kudapatkan selama ini. Dan untuk belajar menghargai diri sendiri. Untuk disadarkan oleh Yang Maha Kuasa bahwa diri yang diciptakannya ini memang berarti bagi orang lain. Untuk mendapatkan pandangan baru mengenai kehidupan ini. Cara pandang yang sama sekali berbeda dari yang selama ini aku gunakan.
Saat kembali ke lingkungan yang lama, maka aku kembali dihadapkan pada masalah-masalah klasik yang tidak terselesaikan, bahkan setelah sebulan kutinggalkan. Aku juga dihadapkan pada kecemasan-kecemasan yang sama. Pada akhirnya aku merasa bahwa semua sifat buruk ku muncul dalam lingkungan yang lama ini. Seberapa besar pun usahaku untuk menekan sifat buruk ini, pada akhirnya ia selalu muncul ke permukaan. Membuatku melakukan dan mengatakan hal-hal yang seharusnya tidak kulakukan atau pun kukatakan. Tapi adalah pengecut jika aku menjadikan lingkungan sebagai penyebab aku menjadi manusia yang bersifat buruk. Pada akhirnya kusadari bahwa untuk mengubah diriku dalam lingkungan ini hanyalah dengan menerima apa yang tidak dapat saya ubah. Dan mengubah caraku menghadapi orang lain, karena toh saya tidak dapat mengubah mereka.
Sore berangin di kota tercinta
2 Comments:
aku jadi ingat kata2 Pak Yono, dosen kita dulu disela2 kuliah, kira2 intinya gini:
kita tidak akan menjadi dewasa kalau selalu menyalahkan lingkungan..yang menyebabkan kita jadi seperti yang ini, tidak jadi seperti yang itu seperti ekspektasi kita
btw, emang sekarang kost dimana Neng? siapa tau kalo aku pulang kita bisa bareng satu kos...hehehe
setuju banget tuh mbak.... nggak nyangka ternyata pak yono bijaksana juga. jadi ingat waktu jaman kuliah, datang2 dia malah ngamuk2 dan bercerita mengenai tukang nasi goreng sampai mencucurkan air mata... kalo dipikir sekarang, berarti empatinya beliau terhadap orang lain besar sekali ya... jadi sadar kalau diri ini nggak ada apa2nya dibandingkan beliau :(
aku nggak kost, tapi sempat "semedi" 3 minggu di tempat lain jadi dapat lingkungan yang lain. lumayan lah, refreshing... hehehe...
Post a Comment
<< Home