Thursday, April 28, 2005

Saya dan Jenewa

Sehabis membaca Temple-nya Matthew Reilly, saya langsung meneruskan dengan Eleven Minutes-nya Paulo Cuelho kiriman sahabat baik saya. Buku ini bisa dibilang bertolak belakang jika dibandingkan dengan novel yang saya baca sebelumnya, meskipun keduanya sama-sama berisikan petualangan anak manusia.

Eleven Minutes merupakan kisah perjalanan seorang wanita cantik dari pedalaman Brazil yang ingin melepaskan diri dari kota kecil tempat dia tinggal. Pada dasarnya dia perempuan romantis yang memimpikan hidup yang tenang bersama suami dan anak-anaknya di peternakan. Bayangannya tentang sang suami adalah laki-laki baik hati yang dapat memahami dirinya. Sebuah cita-cita sederhana (tapi peternakan tidak termasuk sederhana :D) yang merupakan titik tolak banyak buku dan juga shoujo manga. Namun cita-citanya itu membuatnya menjalani kehidupan sebagai perempuan penghibur di Jenewa.

Dia berhasil mencapai salah keinginannya melihat dunia dan meninggalkan kota kelahirannya. Namun dalam perjalanannya perempuan ini kehilangan ‘jiwa’nya. Sounds familiar? Banyak cerita yang seperti itu. Tetapi yang membedakan buku ini dari cerita-cerita sejenis adalah penggambaran perjalanan tokoh utama dalam usaha menemukan ‘jiwa’nya. Saya bukan seorang kritikus yang bisa menilai isi buku dari berbagai sisi. Untuk saya, sebuah buku terbilang bagus jika isinya bisa menyentuh dan membuat saya berpikir (tapi tidak terlalu keras) mengenai hidup dan diri. Syukur-syukur buku itu bisa mengubah hidup saya. Menurut saya, buku ini merupakan buku yang bagus.

Selain jalan cerita yang bagus, penggambaran mengenai Jenewa dalam buku ini membuat saya berkhayal berada di sana dan mengamati sepak terjang sang tokoh utama. Seperti yang bisa dibayangkan, setelah membaca buku itu saya mencari-cari paket tur ke Eropa yang memasukkan Jenewa sebagai salah satu tujuannya. Tentu saja harganya jauh dari jangkauan. Jadi yang bisa saya lakukan sekarang adalah bermimpi saja tentang Jenewa dengan danau dan cafenya, serta Rue de Santiago.

4 Comments:

At 4/28/2005 3:32 PM, Anonymous Anonymous said...

buku itu memang bagus. biasanya setiap ngomong cinta, selalu ada keinginan untuk memiliki. tapi si tokoh utamanya bisa nulis: that is the true experience of freedom: having the most important thing in the world without owning it.
Bisa nggak sampe kesitu? Jenewa? padahal gak jauh dari sini, tapi saya belum sempet kesana.....

 
At 4/29/2005 3:52 PM, Blogger marpuah said...

tapi mungkin pada kenyataannya akan sulit untuk melakukannya. aku suka saat dia menganggap kehidupan seperti roller coaster yang penuh dengan kejutan dan satu-satunya cara untuk menjalani adalah dengan menikmati sekelilingnya.
Kamu ke sana dong, trus kirim foto-foto danau, cafe di Rue de Santiago n Rue de Berne untuk saya :D

 
At 5/04/2005 9:32 PM, Anonymous Anonymous said...

hihihihi akhirnya gua dapat alamt blog kalian dari mbak ici...nah looo ketahuan suka ngeblog juga hahahahaha

 
At 5/06/2005 9:57 AM, Blogger marpuah said...

segitu senangnya kinoy :D selamat bergabung.

 

Post a Comment

<< Home