Tuesday, November 15, 2005

Pada sebuah pernikahan

Tururuturururu… sayup-sayup di tengah tidurku, kudengar telepon berdering. Aku tidak bergeming karena masih setengah tertidur. Masih setengah tidur, kudengar suara Bunda memanggilku untuk menerima telepon itu. Dengan setengah mengantuk aku menyapa sang penelepon: “Hallo”

“Hei, lagi ngapain” jawab suara di seberang sana.

Mumun, aku berteriak dalam hati. Sudah lama aku tidak mendengar kabar darinya. Kantukku langsung menghilang karena begitu banyak gosip2 yang ingin kubicarakan dengannya. Mataku semakin membesar sewaktu dia mengundangku untuk hadir di pernikahannya. Meskipun sudah sejak lama Mumun merencanakan akan menikah, tetapi karena begitu banyak masalah yang harus dia hadapi, maka pernikahannya selalu diundur.

Setelah selesai menelepon, aku teringat saat2 aku masih sering bersama Mumun, Juminten dan Menuk. Setahuku, di antara kami berempat (Mumun, Menuk, Juminten dan aku), Mumunlah yang paling tegas mengatakan bahwa dia ingin menikah dan ingin segera punya anak. Juminten juga selalu bilang bahwa dia siap menikah tapi sayangnya dia belum bertemu dengan laki-laki yang tepat untuknya. Sedangkan Menuk lebih banyak diam dan memendam sendiri keinginannya. Kalau aku, dulu paling sering terpesona oleh laki2, dan kemudian patah hati (walaupun teman2 tidak menganggap aku sedang patah hati). Sekarang aku masih belum tahu apa yang kuinginkan, tapi aku sudah memutuskan untuk mengikuti aliran kehidupan.

Senang rasanya akhirnya ada juga diantara kami berempat yang akhirnya menikah. Aku jadi tidak sabar ingin melihat Mumun dalam gaun pengantin. Maka, dengan semangat 45 aku pun mempersiapkan diri untuk menghadiri pernikahan Mumun, mulai dari mencari pakaian untuk pesta hingga kado pernikahan.

Saat hari H, aku sudah bersiap2 sejak siang hari. Mumun bilang, aku diharapkan datang sekitar jam 6 sore karena pesta akan dimulai setelah berbuka puasa (waktu itu masih Ramadhan). Beberapa menit sebelum berangkat, Bunda dan adikku ribut melihat selendang dan tasku yang tidak matching serta leher dan telingaku yang polos tanpa perhiasan. Aku terpaksa harus mencoba beberapa perhiasan Bunda dan adikku sebelum akhirnya menemukan kalung yang kira2 sesuai dengan pakaianku serta tas pinjaman dari kakak. Akhirnya, aku berangkat ke tempat pesta beberapa menit sebelum azan Maghrib berkumandang.

Pesta berlangsung dengan meriah. Di sana aku bertemu dengan keluarga Mumun dan juga keluarga suaminya. Aku juga bertemu dengan teman2 Mumun yang lain, termasuk Raden Ayu yang merupakan teman lama kami.

Sebuah pesta pernikahan belum lengkap kalau belum ada pelemparan buket bunga oleh mempelai wanita. Tadinya kupikir buket bunga sudah dilempar sewaktu pemberkatan pernikahan, tapi ternyata Mumun sengaja menyimpannya untuk pesta. Beruntunglah aku yang datang ke pesta ini, karena ada kemungkinan aku akan mendapatkan buket bunga itu. Begitu pikirku.

Tapi saat kakak Mumun memanggil para lajang ke depan untuk memperbutkan buket bunga, aku tidak ikut maju. Ja-im ceritanya. Tapi Mumun dengan kakaknya kemudian memanggil namaku untuk maju ke depan, maka dengan aku maju ke barisan terdepan. Di sana aku berdiri bersama dengan adik Mumun dan salah seorang keluarga Mumun. Di belakang kami berdiri cowok2 lajang yang juga disuruh maju untuk memperebutkan bunga.
Menurut tradisi, bunga hanya boleh dilempar 3 kali saja. Aku dan adik Mumun mempersiapkan kuda2 untuk berebut bunga.

“Siap ya!” kata Mumun sambil menoleh ke belakang

“Iya!!!” kami berseru

Hoopp… Mumun melempar bunga ke atas.

Duk… suara buket yang membentur langit2 ruangan.

Serentak terdengar teriakan kecewa.

Mumun pun bersiap melakukan lemparan ke dua. Sementara Mumun bersiap2, adik Mumun dan sepupu laki2 Mumun berebut posisi strategis di depanku.

Hooppp… Mumun melempar bunga ke belakang.

Kalau saat lemparan pertama Mumun melakukan lemparan parabola ke atas, maka lemparan kedua dilakukan Mumun secara horizontal ke belakang. Buket terbang dengan kecepatan maksimal ke arah adik Mumun.

Tapp… bunga terpukul entah oleh adik Mumun atau sepupu Mumun. Bunga pun jatuh ke lantai di belakang Mumun.

Teriakan kecewa kembali terdengar.

Lemparan terakhir pun siap dilakukan. Aku bersiap2 di baris kedua. Di sebelah kananku, seorang gadis manis keluarga Mumun, dan di sebelah kiriku seorang laki2 muda kurus, keluarga Mumun juga.

Hooppp… Mumun melempar bunga lurus ke belakang.

Seerrrr… Terdengar suara buket yang terbang ke arah wajahku.

Melihat buket itu melaju dengan kencang seperti piauw menuju wajahku, naluri mempertahankan dirilah yang keluar.

Seettt… aku menelengkan kepala ke kanan untuk menghindari buket.

Dukkk… Terdengar suara saat kepalaku membentur kepala gadis di sebelahku.

“Aduuuhhh” kamu berdua berseru bersamaan dengan tepukan tangan atas keberhasilan cowok di sebelahku menangkap buket bunga tersebut.

Komentar rekanku sewaktu mendengar ceritaku: "Dikasih jodoh kok malah menghindar"


Untuk Mumun dan Ujang: Ngiring bingah. Semoga bahagia.

2 Comments:

At 11/15/2005 2:52 PM, Blogger Unknown said...

hehehe...seru juga nih, kalau aku ada disana..masih cukup sigap nggak ya utk nangkap itu bunga :D

utk Mumun, ngiring bingah juga *hugs*

 
At 11/15/2005 4:18 PM, Blogger marpuah said...

kayaknya kalo pendekar ria turun gunung bisa lah nangkap bunga itu hehehe... soale udah lama berguru sama ahli piauw dari daratan tionggoan dan juga dari perguruan ninja kan :)

 

Post a Comment

<< Home