Jalan
Entah kenapa, mendengar kata “Jalan” tiba-tiba aku teringat akan jalan2 yang pernah kulalui, dari kecil hingga sekarang. Kalau kuingat lagi, sebagian besar jalan yang kulalui selalui dinaungi oleh hijaunya daun di bawah birunya langit. Sedangkan sisanya, kadang dihiasi oleh gedung2 kuno yang cantik.
Aku teringat akan jalan yang kulalui dari rumahku ke Taman Kanak-Kanak dan Sekolah Dasar. Rumahku terletak dalam sebuah kompleks yang dibangun pada tahun 70-an. Jalan di depan rumahku disebut dengan Gang, namun dengan lebar jalan yang cukup untuk mengakomodasi 2 mobil. Keluar dari rumah, aku harus berjalan sekitar 100 meter, melalui sebuah SMP dan taman di sebelah kiriku, dan sebuah rumah besar di sebelah kananku. Tepi jalan di depan rumahku dihiasi oleh pohon2 jambu batu dan pohon karet hias. Sewaktu kecil, aku sering memakan jambu batu itu dan kemudian melemparnya ke halaman SMP di depan rumah. Setelah aku besar, biji2 jambu yang kubuang pun berkembang menjadi pohon berbuah lebat.
Begitu sampai di jalan utama kompleks, aku akan berbelok ke kiri untuk menuju TK dan SD yang terletak di ujung jalan itu. Yang aku ingat dari jalan utama kompleks itu adalah pohon Flamboyan yang terletak di pertigaan gang rumahku dengan jalan utama. Pohon itu cukup besar untuk menaungi beberapa pedagang yang berjualan di ujung gang. Pohon itu juga cukup besar untuk menyambut kedatanganku setiap kali aku pulang dari SMP ku.
Saat yang paling kusukai adalah ketika pohon tersebut mulai berbunga dan kemudian berguguran. Flamboyan yang berguguran terlihat begitu indah dan bisa mengobati kelelahan belajar di sekolah.
Setelah aku pindah SD, jalan yang biasa kulalui adalah jalan dengan batas hijau (boulavard?) yang ditanami akasia. Kadang, aku dan temanku berjalan sambil bergayut dari pohon ke pohon yang ditanam dengan jarak satu meter satu dengan yang lainnya. Meskipun aku paling takut pada ulat, namun entah kenapa aku tidak pernah segan untuk berjalan di bawah pohon2 akasia tersebut. Senang rasanya berjalan pulang di bawah rerimbunan akasia untuk kemudian disambut oleh bunga flamboyan yang berguguran.
Ketika SMA, jalan menuju sekolah terlalu besar dan tanpa batas hijau yang ditumbuhi pohon di tengah. Sehingga daerah sekitar sekolah terasa gersang. Pohon yang menaungi jalan pun berupa pohon2 besar yang tidak kukenal namanya. Pohon2 itu ditanam dengan jarak yang cukup lebar satu sama lain. Pohon2 besar juga menaungi jalan antara sekolah dan lapangan olah raga yang terletak sekitar 500 meter dari sekolah.
Pohon2 tua dan besar menaungi jalan di kampusku. Pohon2 tua juga menaungi jalan disekitar kampus dan di sekitar tempat tinggalku. Namun, pembangunan mengharuskan penebangan terhadap pohon2 di sekitar rumah. Pembangunan juga menyebabkan penebangan pohon palem yang menaungi jalan besar dekat rumah. Padahal, dulu jalan itu merupakan salah satu jalan favoritku. Kadang aku sengaja pulang berjalan kaki dari kampus hanya untuk merasakan dan mendengar desiran daun palem di sepanjang jalan itu.
Penyakit menyerang pohon2 di sekitar kampus sehingga pohon2 tua tersebut harus ditebang dan diremajakan. Pohon2 tua kadang bertumbangan jika kota tempat aku menuntut ilmu terlanda hujan angin. Dan pohon tanjung yang ditanam ibuku di depan rumah ditebang oleh Dinas Pertamanan kota. Aku ingat betapa sedihnya ibuku karenanya.
Pohon tua dan besar menaungi jalan raya di depan kampusku di negeri orang. Di musim gugur, jalan itu terlihat begitu cantik dihiasi dengan daun yang berguguran. Yang paling kusukai adalah berjalan di malam hari dari kampusku ke tempat tinggalku.
Pertama2, aku harus berjalan di bawah naungan pohon2 tua yang melindungi gedung2 kuliah di belakangnya. Setelah itu aku akan berbelok ke taman di lereng bukit. Aku bisa melihat jalan di atas dan di bawahku. Setelah sampai di bagian tengah taman, aku akan berjumpa dengan sebuah pohon besar di sebelah kanan, dan sebuah backpackers di sebelah kiri. Menjelang sampai di jalan raya bawah, aku akan bertemu dengan semak2 setinggi tubuhku. Setelah itu, jalan menuju tempat tinggal dihiasi oleh gedung pertokoan yang tidak terlalu menarik. Mencapai belokan dekat tempat tinggalku, aku akan disambut oleh gedung2 apartemen dan toko2 kuno yang cantik. Di sudut belokan, berdiri sebuah café yang melayani tamu dari pagi hingga malam. Kopi di sana memang enak tapi terlalu pekat untuk perutku yang tidak tahan terhadap kafein.
Jalan terindah di negeri seberang yang paling kuingat adalah jalan di sebuah kota kecil. Jalan itu tidak terlalu lebar dan banyak berpotongan dengan jalan lain. Namun, di suatu tempat, jalan itu memotong sebuah sungai kecil yang jernih dengan dasar berbatu. Dari atas jembatan, terlihat pohon2 willow yang menaungi tepian sungai berhampar rumput hijau yang mengundang kita untuk duduk sejenak di bawah naungannya. Kalau membayangkannya sekarang, mungkin seperti itu juga perasaan Sam Gamgee saat terbangun di bawah pepohonan disambut oleh wangi rumput dan bunga Ithilien.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home