Saturday, April 05, 2008

Ayah

Tepuk tangan ramai bersahutan ketika nama ayahku dipanggil. Setelah menerima raporku, Pak Mustar mempersilakan ayahku menempati kursi nomor lima yang kosong, dan tepuk tangan kembali membahana waktu namanya kembali dipanggil untuk mengambil rapor Arai. Tidaklah terlalu buruk, seorang tukang sekop di wasrai dipanggil dua kali oleh Kepala SMA Negeri Bukan Main. Kulihat senyum menawan ayahku dan aku tahu, saat itu adalah momen terbaik dalam hidupnya.


Selesai menerima rapor, ayahku keluar dari aula dengan tenang dan dapat kutangkap keharuan sekaligus kebanggan yang sangat besar dalam dirinya. Beliau menemui kami, tapi tetap diam. Dan inilah momen yang paling kutunggu. Momen ini hanya sekilas, yaitu ketika beliau bergantian menatap kami dan dengan jelas menyiratkan bahwa kami adalah pahlawan baginya. Dan kami ingin, ingin sekali dengan penuh hati, menjadi pahlawan bagi beliau. Lalu ayahku tersenyum bangga, hanya tersenyum, tak ada sepatah pun kata. Senyumnya itu seperti ucapan terima kasih yang diucapkan melalui senyum.


(Sang Pemimpi, Andrea Hirata: Bentang, 2006)



Cuplikan di atas diambil dari Mozaik 8 buku Sang Pemimpi yang merupakan buku kedua Tetralogi Laskar Pelangi-nya Andrea Hirata. Andrea Hirata berhasil menggambarkan dengan lugas kebanggan seorang ayah terhadap anaknya. Kebanggan sang ayah yang pendiam tergambar dari persiapan sang ayah untuk mengambil rapor anaknya yang termasuk dalam 10 besar SMA Negeri Bukan Main. Sebuah balasan manis dari sang anak dan keponakan atas perjuangan lelaki sederhana itu dalam menyekolahkan mereka.

Membaca mozaik ini, air mata tidak tertahan tertumpah. Terpikir kapan terakhir kali diri ini membuat mendiang ayah bangga. Bahkan terpikir apakah aku pernah membuat beliau bangga di akhir masa hidup beliau. Jika Ikal bisa melihat kebanggaan sang ayah dari senyum dan persiapannya, aku bukan seorang anak yang cukup peka untuk bisa melihat hal2 subtil seperti itu. Mendiang ayah yang juga pendiam membuat kesalah pahaman semakin mendalam.

Jika Ikal melihat kebanggaan sayang ayah pada saat pembagian rapor, maka aku baru bisa memahami kebanggaan mendiang ayah sewaktu tidak sengaja mendengar percakapan beliau dengan rekan kerjanya. Di situ dengan bangga beliau menceritakan prestasi akademikku yang tidak seberapa. Tapi itu kejadian yang sudah lama sekali. Sejak itu, prestasi akademikku terus turun. Aku tidak tahu apakah beliau masih bangga terhadapku atau tidak.

Ayahku jarang memberi komentar jika aku bercerita mengenai pengalamanku di sekolah yang merupakan ritual kami setiapa hari. Aku juga tidak pernah berpikir lebih jauh mengenai apa2 yang kuceritakan kepada ayah. Hingga suatu hari aku bercerita mengenai guruku yang mogok mengajar kelas. Aku menceritakannya dengan senang karena merasa akan mempunyai lebih banyak waktu bebas. Tapi mogok mengajar itu hanya berlangsung seminggu. Petang hari setelah sang guru kembali mengajar, ayah bertanya apakah pelajaran sudah berjalan lagi. Dengan polos aku mengiyakan. Setelah itu baru aku tahu bahwa ayah mengunjungi kepala sekolah dan menceritakan permasalahan itu kepada beliau. Saat itu aku baru menyadari bahwa ayah bukan hanya sesosok laki2 yang setiap sore diam mendengarkan celoteh putra-putrinya, tapi beliau ternyata seorang problem solver.

Sayangnya kenangan itu tertutup oleh kesibukan sehari2 sehingga yang terlihat olehku adalah sosok pensiunan yang gemar bermalas2an di depan televisi, bukan sosok yang menghabiskan masa mudanya membanting tulang menjadi kuli untuk membiayai pendidikannya sendiri. Sosok pensiunan yang menghabiskan waktunya dengan meminta tolong pamanku untuk mengantar beliau belanja bulanan, bukan sosok laki2 yang mengajari paman2ku cara menyetir mobil. Banyak lagi sisi positif ayah yang tidak terlihat olehku karena aku melihatnya dengan filter yang menyaring semua yang baik sehingga gambaran yang kulihat hanyalah sisi yang kuanggap buruk. Padahal, setiap tindakan yang beliau lakukan selalu mempunyai dasar. Dan aku tidak pernah berusaha untuk memahami alasan beliau melakukan berbagai hal bagiku terlihat aneh, buang2 waktu dan uang.

Sisi baik ayah terlihat kembali setelah membaca Mozaik 8. Filter yang selama ini kupakai untuk melihat beliau, dan masih terus kupasang bahkan setelah beliau berpulang ke Rahmatullah, tanggal sudah. Sosok pekerja keras, penolong sesama, problem solver, pemberi nasehat dan penopang keluarga sekarang terlihat jelas. Dan yang tertinggal adalah air mata yang akan selalu menitik setiap aku mengingat beliau. Waktu memang tidak bisa diputar kembali, tapi seandainya ada kesempatan untuk mengulang satu saja peristiwa dalam hidupku, maka aku akan memohon untuk diberi kesempatan untuk memohon ampun kepada beliau sebelum kepergian beliau.


musim semi, mengenang hampir 3 tahun kepergian ayah tercinta

0 Comments:

Post a Comment

<< Home